Selasa, 20 Januari 2009

Tentang NW

Sekembali dari Tanah Suci makkah ke Tanah

Air Indonesia

mula-mula beliau mendirikan pesantren Al Mujahidin pada tahun 1934 M. kemudian

pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H./ 22 Agustus 1937 M. beliau mendirikan

Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI). Madrasah ini khusus untuk

mendidik kaum pria. Kemudian pada tanggal 15 Rabiul Akhir 1362 H/21 April 1943

M. beliau mendirikan madrasah Nahdlatul Banat diniah Islamiyah (NBDi) khusus

untuk kaum wanita. Kedua madrasah ini merupakan madrasah pertama di pulau

lombok yang terus berkembang dan merupakan cikal bakal dari semua madrasah yang

bernaung di bawah Organisasi Nahdlatul Wathan. Dan secara khusus nama madrasah

tersebut diabadikan menjadi nama Pondok Pesantren Daurun Nahdlatain Nahdlatul

Wathan. Istilah "Nahdlatain" diambil dari kedua madrasah tersebut.

Pada tahun 1952,

madrasah-madrasah cabang NWDI-NBDI yang didirikan oleh para alumni di

berbagai daerah telah berjumlah 66 buah. Maka untuk mengkoordinir, membina dan

mengembangkan madrasah-madrasah cabang tersebut beserta seluruh amal usahanya,

Al Mukarram Maulanasysyaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mendirikan

Organisasi Nahdlatul Wathan yang bergerak di dalam bidang pendidikan, sosial

dan dakwah islamiyah pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1372 H./ 1 Maret 1953 M.

sampai dengan tahun 1997 ini lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh

Organisasi Nahdlatul Wathan telah berjumlah 747 buah dari tingkat taman

kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi, begitu juga lembaga sosial dan

dakwah islamiyahNahdlatul Wathan berkembang dengan pesat bukan hanya di NTB

melainkan juga diberbagai daerah di Indonesia seperti NTT, Bali, Jawa Timur,

Jawa Barat, DKI Jakarta, Riau Sulawesi, Kalimantan dan lain-lain.

Pada zaman penjajahan, Al

Mukarram Maulanasysyaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga menjadikan

madrasah NWDI dan NBDI sebagai pusat pergerakan kemerdekaan, tempat

menggembleng patriot-patriot bangsa yang siap bertempur melawan dan

mngusir penjajah. Bahkan secara khusus Al Mukarram Maulanasysyaikh TGKH.

Muhammad Zainuddin Abdul Madjid bersama guru-guru Madrasah NWDI-NBDI membentuk

Radio Dewi Anjani

http://www.radiodewianjani.com Menggunakan Joomla! Generated: 21 January, 2009, 12:02

suatu gerakan yang diberi nama "Gerakan Al Mujahidin". Gerakan Al

Mujahidin ini bergabung dengan gerakan-gerakan rakyat lainnya dipulau Lombok

untuk bersama-sama membela dan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Bangsa Indonesia. Dan

pada tanggal 7 Juli 1946. TGH. Muhammad Faizal Abdul Majid adik kandung Al

Mukarram Maulanasysyaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid memimpin

penyerbuan tanksi militer NICA di Selong. Dlam penyerbuan ini gugurlah TGH.

Muhammad Faizal Abdul Madjid bersama dua orang santri NWDI sebagai Syuhada'

sekaligus sebagai pencipta dan penghias Taman Makam Pahlawan Rinjani Selong Lombok

Timur.

Al Mukkarram Maulanasysyaikh

TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sebagai ulama' pemimpin umat, dalam

kehidupan bermasyarakt dan berbangsa telah mengemban berbagai jabatan dan

menanamkan berbagai jasa pengabdian, diantaranya :

1. Pada tahun 1934 mendirikan pesantren Al-Mujahidin;

2. Pada tahun 1937 mendirikan Madrasah NWDI;

3. Pada tahun 1943 mendirikan madrasah NBDI;

4. Pada tahun 1945 pelopor kemerdekaan RI untuk daerah Lombok;

5. Pada tahun 1946 pelopor penggempuran NICA di Selong Lombok Timur;

6. Pada tahun 1947 / 1948 menjadi Amirul Haji dari Negera Indonesia

Timur;

7. Pada tahun 1948/1949 Anggota Delegasi Negara Indonesia Timur ke Saudi Arabia;

8. Pada tahun 1950 Konsulat NU Sunda Kecil.

9. Pada tahun 1952 Ketua Badan Penaseha Masyumi Daerah

Lombok;

10. Pada tahun 1953 Mendirikan Organisasi Nahdlatul Wathan;

11. Pada tahun1953 Ketua Umum PBNW Pertama;

12. Pada tahun 1953 merestui terbentuknya parti NU dan PSII di

Lombok

13. Pada tahun 1954 merestui terbentuknya PERTI Cang

Radio Dewi Anjani

http://www.radiodewianjani.com Menggunakan Joomla! Generated: 21 January, 2009, 12:02

Lombok

14. Pada tahun 1955 Anggota Konstituante RI

hasil Pemilu I (1955);

15. Pada tahun 1964 mendiriakn Akademi Paedagogik NW;

16. Pada tahun 1964 menjadi PesertKIAA (Konferensi Islam Asia

Afrika) di Bandung.

17. Pada Tahun 1965 mendirikan Ma'had Darul Qu'an Wal Hadits

Al Majidiyah Asy Syafi'iyah Nahdlatul Wathan;

18. Pada tahun 1972-1982 Anggota MPR RI hasil

pemilu II dan III;

19. Pada tahun 1971-1982 Penasehat Majlis Ulama' Indonesia

Pusat;

20. Pada tahun 1974 mendirikan Ma'had Lil Banat;

21. Pada Tahun 1975 Ketua Penasehat Bidang Syara' Rumah Sakit

Islam Siti Hajar Mataram (sampai 1997)

22. Pada tahun 1977 mendirikan Universitas Hamzanwadi;

23. Pada tahun 1977 Menjadi Rektor Universitas Hamzanwadi

24. Pada tahun 1977 mendirikan fakultas tarbiyah universitas

hamzanwadi

25. Pada Tahun 1978 mendirikan STKIP Mamzanwadi

26. Pada tahun 1978 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Syari'ah

Hamzanwadi.

27. Pada tahun 1982 mendirikan Yayasan Pendidikan Hamzan wadi;

28. Pada tahun 1987 mendirikan Universitas Nhdlatul Wathan

mataram

29. Pada tahun 1987 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum

Hamzanwadi;

30. Pada tahun 1990 mendirikan Sekolah Tinggi Ilamu Dakwah

Hamzanwadi;

Radio Dewi Anjani

http://www.radiodewianjani.com Menggunakan Joomla! Generated: 21 January, 2009, 12:02

31. Pada tahun 1994 mendirikan Madrasah Aliyah Keagamaan

putra-putri;

32. Pada tahun 1996 mendirikan Institut Agama Islam

Hamzanwadi;

Oleh karena jasa-jasa beliau itulah maka pada

tahun 1995 belau

dianugerahi Piagam Penghargaan dan medali Pejuang Pembangunan oleh pemerintah.

Al Mukarram Maulanasysyaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul

Madjid selaku ulama' pewaris para nabi, di samping menyampaikn da'wah bil hal

wa bil lisan, juga tergolong penulis dan pengarang yang produktif. Bakat dan

kemampuan beliau sebagai pengarang ini tumbuh dan berkembang sejak beliau masih

belajar di Madrasah Shaulatiyah Makkah. Namun karena banyaknya dan padatnya

kegiatan keagamaan dan keasyarakatan yang harus diisi maka peluang dan

kesempatan untuk memperbanyak tulisan tampaknya sangat terbatas. Kendatipun

demikian di tengah-tengah keterbatasan waktu itu, beliau masih sempat mengarang

beberapa kitab, kumpulan do'a, dan lagu-lagu perjuangan dalam bahasa Arab,

Indonesia dan Sasak, diantaranya Risalah Tauhid, Sullamul Hija Syarah Safinatun

Naja Nahdlatuz Zainiah, At Tuhfatul Ampenaniyah, Al Fawakihun Nahdliyah,

Mi'rajush Shibyan ila Sama'i Ilmil Bayan, An Nafahat 'Ala Taqriratis Saniyah,

Hizib Nahdlatul Wathan, Hizib Nahdlatul Banat, Tariqat Hizib Nahdlatul Wathan,

Batu Ngompal, Anak Nunggal, Taqrirat Batu Ngompal, Wasiat Renungan Masa I dan

II, Ta'sis NWDI, Imamunasy Syafi'I, dan lain-lain.

Disamping itu, Almukarram Maulanasysyaikh TGKH. Muhammad

Zainuddin Abdul Madjid selaku seorang mujahid selalu berupaya mengadakan

inovasi dalam gerakan perjuangannya untuk meningkatkan kesejahteraan ummat demi

kebahagian di dunia maupun di akhirat. Di antara inovasi / rintisa-rintisan

beliau adalah menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran agama Islam di NTB

dengan sistem madrasi, membuka lembaga pendidikan khusus untuk wanita,

mengadakan ziarah umum Idul Fitri dan Idul Adha dengan mendatangai jamaah di

samping didatangi, meyelenggarakan pengajian umum secara bebas, mengadakan gerakan

do'a dengan berhizib, mengadakan syafatul kubro, menciptakan tariqat, yakni

tariqat Hizib Nahdlatul Wathan, membuka sekolah umum disamping sekolah agama

(madrasah), menyusun nazam berbahasa Arab bercampur bahasa Indonesia, dan

lain-alin.

Sebagai seorang Ulama' mujahid

beliau telah memberikan keteladanan yang terpuji. Seluruh sisi kehidupan

beliau, beliau isi dengan perjuangan memajukan agama, nusa dan bangsa. Tegasnya

tiada hari tanpa perjuangan. Itulah yang senantiasa terlihat dan terkesan dari

seluruh sisi kehidupan beliau yang patut dicontoh dan diteladani oleh seluruh

pengikut dan murid beliau.

Peran Ulama

Mengembalikan Fungsi Ulama Sebagai Pendidik Umat

20-August-2008

Buletin No. 226

“...Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun” (QS Asy-Syu’ara [26]: 197).

Ulama berasal dari kata ‘alima yang me-ngandung arti mengetahui. Ulama adalah bentuk jamak dari perkataan ‘alim. Secara bahasa, ulama berarti orang yang memiliki pengetahuan luas dalam bidang ilmu agama ataupun ilmu pengetahuan lainnya.

Kata “ulama” secara eksplisit disebut dua kali dalam Al-Quran. Pertama, dalam QS Asy-Syu’ara [26] ayat 197 yang berbunyi, “Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?” Ayat ini, meskipun berkaitan dengan Bani Israil, menunjukkan bahwa seseorang dikatakan sebagai ulama apabila memiliki keluasan dan kedalaman ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wahyu dan sunah Rasul-Nya, tempat orang bertanya dan meminta fatwa mengenai permasalah yang berhubungan dengan agama.

Kedua, disebut dalam QS Fathir [35] ayat 28, “...Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. Ayat ini menggambarkan secara jelas bahwa ulama adalah orang-orang yang memiliki rasa khaasysyah (takut dan cinta) yang tinggi kepada Allah Swt juga senantiasa memelihara hubungan dengan-Nya.

Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda, “Ulama itu adalah panutan dan pemimpin umat. Barangsiapa yang senantiasa bergaul dengannya, maka akan bertambah kebaikannya,” (HR. Jama’ah). Dalam hadits lain Rasulullah Saw bersabda, “Ulama itu adalah orang-orang yang dipercaya oleh para Rasul, selama tidak mukhallathah (dikendalikan) oleh penguasa yang zalim, dan selama tidak menjadikan dunia sebagai tumpuan hidupnya. Apabila mereka dikendalikan para penguasa yang dzalim, maka sesungguhnya mereka telah berkhianat terhadap Rasul. Karena itu, jauhilah mereka itu,” (HR. Aqbali dari Anas).

Menurut Said Hawwa, dengan mengutip pendapat Ibn Mas’ud, ulama bukanlah orang yang semata-mata mempunyai keluasan dan kedalaman ilmu, akan tetapi yang lebih esensial adalah tingkat ketakwaannya kepada Allah Swt. Perpaduan antara ilmu dan takwa itulah yang akan mengantarkannya pada derajat ahli waris para nabi.

Karena itu, Rasulullah Saw menganalogikan peran dan fungsi ulama seperti bintang yang menjadi petunjuk dalam kegelapan. Sabda Rasulullah Saw, “Gambaran ulama di muka bumi adalah seperti bintang-bintang di langit yang memberi petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Apabila bintang-bintang itu terbenam, maka dikhawatirkan orang-orang akan tersesat jalannya,” (HR. Imam Ahmad).

Ulama dan Kekuasaan
Dalam ajaran Islam, ulama mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan peran yang mahapenting dalam kehidupan umat, agama, dan bangsa. Secara garis besar, peran itu berupa tugas pencerahan bagi umat manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai para pewaris Nabi (waratsatul anbiya’). Yakni, pelanjut peran dan fungsi kenabian sebagai pembimbing masyarakat ke jalan yang diridhai Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya,
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (as-sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” (QS al-Jumu’ah [62]: 2).

Secara umum, peran dan fungsi ulama biasa disebut dengan amar ma’ruf nahi munkar. Sedang rincian tugas ulama adalah: pertama, mendidik umat di bidang agama dan lainnya. Kedua, melakukan kontrol terhadap masyarakat. Ketiga, memecahkan problem yang terjadi di masyarakat. Keempat, menjadi agen perubahan sosial. Semua tugas ini melekat pada diri tiap ulama dan dijalankan sepanjang hidupnya, meski jalur yang ditempuh berbeda (Masykuri Abdillah, 1999).

Meskipun fungsi utama ulama sebagai pendidik umat, namun tidak ada larangan agama bagi ulama untuk terlibat aktif dalam kekuasaan. Nabi Muhammad adalah rasul, tapi beliau juga kepala negara. Demikian pula Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Keluasaan dan kedalaman ilmu agama keempat terdekat Nabi ini tidak perlu diragukan. Begitu juga dengan akhlak mereka. Mereka adalah ulama sekaligus pemimpin politik.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa tidak ada larangan bagi ulama untuk terjun ke dalam politik dan kekuasaan. Namun pertanyaan selanjutnya, akankah ulama tetap konsisten dengan tugas-tugas mereka ketika terjun ke dalam arena politik dan menjadi penguasa? Atau bisakah ulama menjaga independensinya dengan dengan tidak mengeluarkan fatwa atau pendapat yang berseberangan dengan ajaran Islam?

Himbauan Al-Ghazali
Imam al-Ghazali hidup di masa kekuasaan Bani Abbasiah. Sebuah masa di mana penguasa berusaha meng­kop­tasi ulama untuk melanggengkan kekua­saan dan mendukung kebijakan penguasa. Maka tak heran jika kemudian Imam al-Ghazali menyatakan bahwa tidak pantas dan tidak terpuji ulama mendekatkan diri kepada penguasa. Ulama yang bersentuhan dengan dinding kekuasaan dikategorikan oleh Sang Hujjatul Islam seba­gai ulama su’ (buruk).

Ulama-ulama masa lalu, setelah berakhirnya era khalifatur rasyidun, cenderung mengambil sikap oposisi terhadap penguasa, seperti sikap yang ditunjukkan oleh Abu Hanifah. Abu Hanifah pernah ditawarkan oleh khalifah Abu Ja’far Al-Manshur untuk menduduki jabatan hakim agung. Namun Abu Hanifah bersikeras menolak jabatan tersebut. Tak ayal, penolakan ini membuat khalifah marah dan berujung pada penjara. Abu Hanifah mendekam dalam penjara hingga ajal menjemputnya (Ensiklopedi Islam, 1997: 157).

Menurut Ali Yafie, para ulama masa lalu cenderung mengambil posisi sebagai oposan saat berhadapan dengan kekuasaan karena adanya ketidakseimbangan orientasi fungsi pemerintahan antara harasat ad-din (pemeliharaan kepentingan agama) dan fungsi siasat ad-dunnya (kebijakan penataan urusan pemerintahan). Penguasa lebih menitikberatkan orientasinya pada siasat ad-dunya.

Namun, saat ini, sebagian ulama berlomba-lomba untuk masuk dalam arena politik dan kekuasaan. Hal ini sah-sah saja karena, sebagai warga negara pada umumnya, ulama juga mempunyai kesempatan untuk itu. Di sisi lain, agama juga tidak melarang. Hanya saja, tugas dan fungsi ulama jangan ditinggalkan dan bisa menjaga independensinya sehingga tidak terkooptasi oleh kepentingan penguasa dan hanya menjadi legitimisator kepentingan kekuasaan.

Jika kita berkaca pada pemilu tahun 1999 dan 2004, masuknya ulama dalam politik (partai) cenderung membawa efek negatif. Isu-isu agama, dalam batas-batas tertentu, hanya sekadar dijadikan alat untuk melegitimasi aktivitas politik. Selain itu, mereka cenderung terjebak dalam kepentingan sesaat dan mengambil langkah-langkah pragmatis. Para ulama yang berjuang di jalur politik kebanyakan hanya sibuk mengurusi pengikutnya sendiri dan memenangkan partainya di arena pemilu.

Di sisi lain, masuknya ulama dalam salah satu partai, semakin mengkristalkan pengelompokan di tubuh umat. Umat terpecah-belah menurut afiliasi ulamanya. Yang lebih menyedihkan, bukannya memberi teladan bagaimana menjaga dan merawat ukhuwah, para ulama malah mempertontonkan sesuatu yang tidak pantas (perpecahan). Sejatinya, ulama yang masuk dalam politik bisa memberi contoh bagaimana berpolitik yang islami. Namun, hal yang ditunggu-tunggu itu sampai saat ini belum tampak.

Oleh karena itu, alangkah bijaksananya jika para ulama kembali ke “khittah” mereka sebagai pendidik umat. Karena, disadari atau tidak, saat masuk dalam kancah politik, ulama sering mengabaikan fungsinya sebagai pendidik umat. Dengan meninggalkan politik praktis, mereka lebih banyak mempunyai waktu untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat seperti perbaikan pendidikan dan penyebaran dakwah sehingga umat Islam menjadi umat yang maju.
Keturpurukan dan keterbelakangan umat Islam haruslah dijadikan fokus utama para ulama.

Jika tidak, siapa lagi yang memikirkan umat. Oleh sebab itu, sebaiknya para ulama berada di luar pagar kekuasan agar mereka konsisten dengan fungsinya sebagai pendidik umat, penjaga moral, dan alat kontrol terhadap kekuasaan. Sebagai pewaris Nabi, para ulama semestinya memainkan diri sebagai figur moral, anutan publik, berwatak sosial, serta menjadi suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lamu bis shawab.

Rabu, 14 Januari 2009

Friendster - Mr. Oezank's Photos - Img00185.jpg

Friendster - Mr. Oezank's Photos - Img00185.jpg

Semua Tentang Ulama

Akhir-akhir ini istilah ulama sering hanya diartikan dari segi bahasa saja, yaitu orang yang memiliki ilmu. Jika kita pakai definisi ini, maka makin banyak ilmu yang dimiliki seseorang, makin alim lah dia, maka dia disebut ulama. Jika demikian, maka di hari ini tempat untuk belajar menjadi ulama adalah di perguruan tinggi, seperti di Institut Teknologi Bandung.

Dalam kajian ilmu Islam, dalam mengkaji suatu istilah tidak hanya dari segi bahasa saja, namun juga dari segi syara’, terutama pada istilah-istilah yang dijelaskan di dalam Al Quran dan Hadis. Istilah ini tidak dapat dimaknai hanya dari segi bahasa saja, namun harus memperhatikan uraian yang ada di dalam Al Qur’an maupun hadis.

Menurut Al Ghazali, Ilmu yang dikuasai seseorang dapat masuk ke dalam salah satu hukum berikut:

  • wajib / fardhu, baik fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah
  • Sunat
  • Mubah/ boleh
  • Makruh
  • Haram

seorang muslim tentu saja hanya akan mempelajari & menguasai serta mengamalkan ilmu-ilmu yang bersifat wajib dan sunat, serta ilmu mubah yang dapat diarahkan kepada kemanfaatan umat.

Istilah ulama disebut juga dalam Al Quran sebagai berikut:

Artinya kalau ada orang yang tidak ada rasa takut pada Allah, dia bukanlah seorang ulama.

Rasulullah bersabda bahwa:

“Ulama itu pewaris para Nabi”.(Riwayat Abu Daud dan At Tarmizi)

Kita tahu bahwa para Nabi itu kebanyakannya meninggal tidak mewariskan harta, namun mereka mewariskan ilmu wahyu. Ilmu wahyu ini kalau dipahami & diamalkan akan menjadikan seorang itu akhlaknya baik, kepribadiannya mulia. Jadi artinya ulama itu orang-orang yang mempunyai sifat-sifat pribadi menyerupai para Nabi. Jadi untuk mengecek seorang itu ulama atau bukan, tinggal dicek saja apakah kepribadiannya ada menyerupai kepribadian Rasulullah yang disebut dalam Al Quran maupun Hadis.

Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata ‘aalim. ‘Aalim adalah isim fail dari kata dasar:’ilmu. Jadi ‘aalim adalah orang yang berilmu. Dan ‘ulama adalah orang-orang yang punya ilmu.

Al-Quran memberikan gambaran tentang ketinggian derajat para ulama,

Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberikan ilmu (ulama) beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah: 11)

Selain masalah ketinggian derajat para ulama, Al-Quran juga menyebutkan dari sisi mentalitas dan karakteristik, bahwa para ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah. Sebagaimana disebutkan di dalam salah satu ayat:

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama[oran yang berilmu]. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir: 2 8)
Sedangkan di dalam hadits nabi disebutkan bahwa para ulama adalah orang-orang yang dijadikan peninggalan dan warisan oleh para nabi.

Dan para ulama adalah warisan (peninggalan) para nabi. Para nabi tidak meninggalkan warisan berupa dinar (emas), dirham (perak), tetapi mereka meninggalkan warisan berupa ilmu.(HR Ibnu Hibban dengan derajat yang shahih)

Mungkin yang dimaskud pernyataan KH Kholil Ridwan tersebut adalah dibidang Agama saja, dimana beliau menkiyaskan dengan hadist Nabi “Bahwa Ulama adalah warisan Nabi”.

Padahal jika ditinjau lebih jauh bahwa Rasulullahpun memiliki ilmu politik, ekonomi, ilmu perang, dsb… begitujuga dengan Masa khalifah berikutnya.

Hal ini yang mungkin saya dapati dari pernyataan KH Kholil Ridwan tersebut bahwa Ulama harus bisa mengayomi semua ilmu. Namun kenyataannya sekarang tidak demikian ada ahli agama, ada ahli teknoloogi, ada ahli ekonomi dsb. Mungkin dalam benak KH Kholil bahwa kata ilmuwan hanya terbatas pada keahlian suatu bidang tertentu dan tidak mencakup semuanya seperti yang terjadi pada masa Rasulullah dan ke-empat khalifah setelahnya. Bagaimana dia disebut pewaris Nabi yang memiliki ilmu jika hanya memiliki satu keahlian saja.

——————–

Ada satu artikel menarik berikut ini, ditulis oleh salah seorang mahasiswa bernama Abd. Halim Fathoni
Sumber artikel : http://www.malangkab.go.id/artikel/artikel.cfm?id=berita.cfm&xid=156

Re-Definisi Istilah Ulama

Oleh: Abd. Halim Fathoni (ah_fathoni@yahoo.com,ah_fathoni@yahoo.co)

Secara bahasa, ‘ulama’ berasal dari kata kerja dasar ‘alima (telah mengetahui); berubah menjadi kata benda pelaku ‘alimun (orang yang mengetahui - mufrad/singular) dan ‘ulama (jamak taksir/irregular plural). Berdasarkan istilah, pengertian ulama dapat dirujuk pada al-Quran dan hadis.

Yang sangat masyhur dalam hal ini adalah : ‘innama yakhsya Allahu min ‘ibadihi al ulama’ artinya : sesungguhnya yang paling taqwa kepada Allah diantara hambaNya adalah ulama (Fathir 28).

‘Al ulama-u waratsatu al anbiya’ artinya : ulama adalah pewaris para nabi - hadits.

Secara hakikat, taqwa tidak mudah dipakai untuk kategorisasi, sebab yang mengetahui tingkat ketaqwaan seseorang hanyalah Allah.

Penyebutan taqwa di sini hanya untuk memberi batasan bahwa ulama haruslah beriman kepada Allah dan secara dhahir menunjukkan tanda-tanda ketaqwaan. Jadi Islamolog yang tidak beriman kepada Allah tidak masuk dalam kategori ulama.

Untuk batasan kedua, ulama adalah mereka yang mewarisi nabi. Al Maghfurllah Kiyai Ahmad Siddiq, Situbondo, menyatakan bahwa yang diwarisi ulama dari nabi adalah ilmu dan amaliyahnya yang tertera dalam al-Quran dan hadis.

Dengan batasan ini, ahli-ahli ilmu lain yang tidak berhubungan dengan al-Quran dan hadis tidak masuk dalam kategori ulama. Kyai Ahmad mengistilahkan kelompok ahli itu sebagai zuama.

Kata al-’ulama’ dan al-’alimun sekalipun berasal dari akar kata yang sama tapi keduanya memiliki perbedaan makna yang sangat signifikan. Perbedaan makna ini dapat ditengarai dalam Al-Qur’an ketika kata al-’ulama’ disebutkan hanya 2 (dua) kali dan kata al-’alimun sebanyak 5 (lima) kali, dan kata al-’alim sebanyak 13 (tiga belas) kali. (lihat al-Baqi, al-Mu’jam, hlm. 603-604).

Penggunaan kata al-’ulama’ dalam Al-Qur’an selalu saja diawali dengan ajakan untuk merenung secara mendalam akan esensi dan eksistensi Tuhan serta ayat-ayat-Nya baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Ajakan perenungan terhadap ayat-ayat Tuhan ini adalah untuk mencari sebab akibat terhadap hal-hal yang akan terjadi sehingga dapat melahirkan teori-teori baru. Kata al-’alimun diiringi dengan usainya suatu peristiwa dan Al-Qur’an menyuruh mereka untuk merenungi kejadian ini sebagai bahan evaluasi agar kejadian tersebut tidak terulang lagi.

Contoh pada tataran ini adalah ketika Al-Qur’an mengajak al-’alimun untuk memikirkan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh umat terdahulu disebabkan dosa yang mereka lakukan (lihat Q.S. Al-’Ankabut ayat 40-43). Penyebutan kata al-’alim dalam bentuk tunggal semuanya mengacu hanya kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Penggunaan kata ini diiringi dengan penciptaan bumi dan langit serta hal-hal yang ghaib dan yang nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa munculnya pengetahuan manusia berbarengan dengan munculnya ciptaan-ciptaan Tuhan.

Kyai Muchith Muzadi,- salah seorang ulama dari NU- membuat kategorisasi ulama atas dasar ilmu, secara garis besar sebagai berikut:

1. Ulama Ahli Quran ialah ulama yang menguasai ilmu qiraat, asbabunnuzul, nasih mansuh dsb. Ulama tafsir adalah bagian dari ini yang memiliki kemampuan menjelaskan ‘maksud’ Qur’an.

2. Ulama Ahli Hadits yaitu ulama yang menguasai ilmu hadits, mengenal dan hafal banyak hadist, mengetahui bobot kesahihannya, asbabul wurudnya (situasi datangnya hadits) dsb.

3. Ulama Ahli Ushuluddin ialah ulama yang ahli dalam aqidah Islam secara luas dan mendalam, baik dari segi filsafat, logika, dalil aqli dan dalil naqlinya.

4. Ulama Ahli Tasawuf adalah ulama yang menguasai pemahaman, penghayatan, dan pengamalan akhlaq karimah, lahir dan bathin serta metodologi pencapaiannya.

5. Ulama Ahli Fiqh adalah ulama yang memahami hukum Islam, menguasai dalil-2nya, metodologi penyimpulannya dari Qur’an dan hadis, serta mengerti pendapat-2 para ahli lainnya.

6. Ahli-ahli yang lain, i.e., ahli pada berbagai bidang yang diperlukan sebagai sarana pembantu untuk dapat memahami Qur’an dan hadits, seperti ahli bahasa, ahli mantik, ahli sejarah, dsb. Merujuk pada arti ulama-baik secara bahasa dan istilah- dan kategorisasi ulama menurut Kyai Muchit Muzadi, ternyata selama ini yang dipahami masyarakat telah mengalami ‘kecelakaan pemahaman’. Menurut kebanyakan orang, yang dimaksudkan sebagai ulama hanyalah orang-orang yang mumpuni di bidang agama-dalam hal ini meliputi tafsir, tasawuf, aqidah, muamalah, dan sejenisnya bahkan ada yang menambahkan ulama dalaha orang ahli agama yang memilki pondok pesantren (sekaligus memiliki santri).

Sedangkan ahli bidang keilmuan yang lain, misalnya: ahli bahasa, ahli sains, ahli teknik, ahli ekonomi- yang nota bene juga merupakan bidang ilmu yang dapat dijadikan sarana untuk lebih memahami al-Qur’an dan hadits serta mendekatkan diri kepada Allah ternyata tidak pernah disebut sebagai ulama, melainkan sering dinamakan dengan sebutan Guru/Dosen. Yang lebih merepotkan, istilah “ulama” yang beredar dalam masyarakat kita - seperti berbagai istilah lain - mempunyai “kelamin ganda” dan berasal tidak hanya dari satu sumber. Dalam bahasa Indonesia, ulama berarti “orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan Islam agama Islam” (lihat Kamus Besar bahasa Indonesia, halaman 985).

Sedangkan di Arab sendiri, ulama (bentuk jamak dari alim) hanya mempunyai arti “orang yang berilmu”. Dalam hali ini, menurut Imam Suprayogo (2006)-dalam bukunya-Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam- menegaskan bahwasannya selama ini, pembidangan ilmu agama Islam (seputar tauhid, fiqh, akhlaq, tasawuf, bahasa arab, dan sejenisnya) telah berhasil melahirkan berbagai sebutan ulama, seperti ulama fiqh, ulama tafsir, ulama hadits, ulama tasawuf, ulama akhlaq, dan lainnya. Tetapi, tidak pernah dijumpai ulama yang menyandang ilmu selain tersebut.

Misalnya ulama matematika, ulama teknik, ulama ekonomi dan sebagainya. Mereka yang ahli di bidang tersebut hanya cukup disebut sebagai sarjana matematika, sarjana teknik, sarjana ekonomi, dan seterusnya. Para ahli di bidang ini dipandang tidak memiliki otoritas dalam ilmu keislaman sekalipun mereka beragama Islam dan juga mengembangkan ilmu yang bersumber dari ajaran Islam. Selama ini, definisi ulama yang dikonstruk masyarakat adalah orang yang mengkaji fiqh, tasawuf, akhlaq, tafsir, hadits, dan sebagainya. Berangkat dari hal ini, menurut Suprayogo seharusnya ulama tidak sebatas dilekatkan pada diri seseorang yang memahami tentang fiqh, tauhid, tasawuf, dan akhlaq saja melainkan orang yang mengetahui dan memahami tentang segala hal yang terkait dengan objek yang dikaji.

Jika demikian penggunaan arti ulama, maka ulma bisa dilekatkan pada berbagai orang yang mendalami ilmu tentang apa saja, termasuk misalnya kedokteran, ekonomi, sains, teknik, dan bahkan juga seni dan budaya. Selanjutnya tidak diperlukan lagi pembedaan istilah intelek dan ulama, karena pada hakekatnya ulama yang intelek dan intelek yang ulama tidak memilki perbedaan. Penggunaan konstruk yang berbeda terhadap fenomena yang sama tetapi berbeda objeknya saja ternyata terjadi dalam banyak hal.

Misalnya menggunakan istilah madrasah yangberbeda dengan sekolah, guru dengan ustadz, kitab dengan buku, asrama mahasiswa dengan pondok pesantren, perpisahan dengan akhirussanah, dan lain sebagainya. Di sini, penggunaan konstruk yang bernuansa ke Arab-araban dipandang sebagai bernuansa spiritual transcendental yang dirasakan terdapat nuansa agama Islam. Untuk memahami lebih dalam bagaimana masyarakat membedakan antara konstruk yang bernuansa agama dengan yang bukan agama, dapat mengikuti pembedaan yang sama antara guru dengan ustadz.

Disebut guru jika seseorang mengajar matematika, biologi, teknik, ekonomi, bahasa Inggris dan seterusnya. Lain halnya jika seseorang mengajar ilmu fiqh, tafsir, tasawuf, bahasa Arab dan lainnya maka akan disebut dengan ustadz. Pembedaan seperti ini menjadikan Islam terkesan eklusif (tertutup) dan bukan inklusif (terbuka), seolah-olah Islam hadir ke bumi ini hanya mengurus hal-hal yang berkenaan dengan ke-akhirat-an saja. Padahal kalau kita mau mencermati secara seksama dalam al-Qurâan dan al-Hadits justru lebih banyak berbicara tentang keselamatan hidup di sini dan sekarang, karena memang yang di sini dan sekarang akan berdampak pada kehidupan di akhirat yang nanti dan di sana.

—————-

Artikel diatas adalah tanggapan atas pernyataan Ketua MUI tentang Ulama.
Berikut artikel tersebut :

Ketua MUI: Kita Butuh Ulama, Bukan Ilmuan

Rabu, 13 Peb 08 07:33 WIB

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Kholil Ridwan menyatakan, semestinya tradisi keilmuan dalam Islam melahirkan ulama, bukannya ilmuan. Sebab, antara ulama dengan ilmuan itu tidak sama.

"Yang menjadi masaalah pada hari ini ialah rakyat dan masyarakat tidak faham siapa itu ulama.Mungkin juga umara tidak kenal siapa ulama sebenarnya.Kemudian ada pula orang yang merasakan dirinya ulama sebab boleh bercakap dan membaca ayat Al Quran"


Dalam Islam yang Hadhari atau realiti atau hakiki, peranan ulama tidak boleh diperkecilkan. Tanpa ulama yang mendidik (tarbiah) dan memberi ilmu (taalim), usaha ke arah membina Islam yang Hadhari sudah tentu akan gagal. Kerana tanpa didikan dan ilmu, kita tidak akan tahu bagaimana hendak berbuat dan ke arah mana usaha kita hen-dak dihalakan. Kita juga tidak akan ada kekuatan roh dan jiwa untuk melaksanakannya. Kerja membangunkan Islam Hadhari bukan calang-calang kerja. la bukan perkara kecil atau mudah. la penuh dengan kepayahan, pengorbanan dan keperitan. Tanpa ilmu dan didikan, kita akan jadi kaku dan beku. Tanpa ilmu kita kaku untuk bergerak. Tidak tahu bagai-mana dan apa caranya. Tidak tahu arah tujuannya. Tanpa didikan pula kita akan beku. Walaupun ilmu ada, tetapi kita tidak ada kekuatan dalaman atau kekuatan jiwa untuk meng-harungi ujian, kesusahan dan pancaroba yang pasti akan di-hadapi.

Umat Islam perlu tahu dan kenal ulama supaya mereka mencintainya dan mendapat didikan serta pimpinan darinya yang wajib mereka perolehi dalam hidup di dunia ini. Umat yang tidak kenal dan tidak cintakan ulama pasti tidak akan bertemu iman dan Islam yang sebenarnya. Mereka tidak akan faham tentang agama anutan mereka. Bahkan mereka tidak akan faham tujuan dan arah hidup yang sedang mereka tem-puh ini. Mereka akan hidup dalam kegelapan, tidak nampak apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang benar dan apa yang salah.

Ulama seperti manakah yang boleh dan mampu mengajar dan mendidik kita ke arah terbangunnya Islam Hadhari? Ulama seperti manakah yang boleh menjadi sumber inspirasi dan sumber rujukan kepada para umara dan rakyat jelata yang terlibat dalam membangunkan Islam Hadhari? Siapakah yang dikatakan ulama itu? Adakah orang yang agak tinggi ilmu Islamnya itu ulama? Apakah pula peranannya?

PENGERTIAN ULAMA YANG SEBENAR

Hadis ada menyebut:
Maksudnya: "Bila ulama dan umara (pemimpin) baik, umat Islam pun akan baik."

Dalam hadis ini, ulama didahulukan kemudian barulah umara. Ulama memberi ilmu dan memberi contoh. Kalau hendak dilaksanakan secara global, ulama tidak mampu sebab dia tidak ada kuasa dan kekuatan. Umara ada kekuatan ekonomi, politik dan negara. Umara boleh menggerakkan rakyat. Oleh itu, umara mesti bergantung kepada ulama. Kemudian dia apply dan dipraktikkan nasihat dan ajaran ulama kepada masyarakat.

Yang menjadi masalah pada hari ini ialah rakyat dan masyarakat tidak faham siapa itu ulama. Mungkin juga umara tidak kenal siapa ulama yang sebenarnya. Kemudian ada pula orang yang merasakan dirinya ulama sebab dia boleh bercakap dan boleh membaca ayat Al Quran. Masyarakat pun mengangap dia ulama.

Sebenarnya ulama itu bukan dia yang melantik dirinya menjadi ulama hanya kerana dia mempunyai sedikit Kemudian buat pula persatuan ulama. Ini tidak pernah dalam sejarah Islam. Title ulama di sisi Tuhan bukan diukur pada degree atau ijazah, ilmu atau jawatan. Dia sendiri pun tidak boleh mengaku yang dia itu ulama.

Hanya Allah yang tahu. Ini penting supaya umat tidak keliru siapa yang sepatutnya mereka ikut dan pimpinan siapa yang patut mereka terima. Imam Syafie contohnya, rakyat mengakui dia ulama tetapi dia sendiri tidak mengakui dirinya ulama Imam Ghazali pun dikata orang sebagai ulama tetapi dia sendiri tidak pernah mengaku begitu. Ulama atau tidak bukan berdasarkan penilaian orang ramai. Bukan juga pada penilaian kerajaan dan lebih-lebih lagi bukan atas dasar merasakan diri sendiri ulama. Kalau begitu, siapakah sebenarnya ulama?

Istilah ulama adalah dari bahasa Arab. Maksudnya disegi bahasa ialah orang-orang alim atau orang-orang pandai. Boleh dikatakan juga para ilmuan dan para cerdik pandai. Pada segi bahasa, ulama itu adalah orang alim dalam apa sahaja bidang ilmu sama ada ilmu dunia mahupun ilmu akhirat, ilmu baik atau pun ilmu jahat, tidak kira ilmu itu diamalkan atau pun tidak. Orang yang mempunyai ilmu di bidang ekonomi misalnya, digelar ulama. Begitu juga yang mengetahui ilmu usuludddd, dia juga digelar ulama.

Berdasarkan fahaman dan pengertian inilah kita sekarang memberi gelaran ulama kepada seseorang, iaitu sesiapa sahaja yang alim dalam bidang ilmu apa pun, kita panggil dia ulama.

Pengertian ulama dalam Islam berbeza.
Di samping ilmu, dia perlu ada syarat-syarat yang lain seperti di bawah:
1. Beriman

Ulama itu mestilah dari kalangan orang-orang yang beriman.
Firman Allah: Maksudnya: "Allah mengangkat mereka yang beriman di kalangan kamu dan mereka yang diberi ilmu itu beberapa darjat." (Al Mujadalah: 11)

2. Beramal

Mereka mestilah beramal dengan ilmu mereka.
Seperti kata Abu Darda`: Maksudnya: "Tidak dianggap seseorang itu alim sehinggatah dia beramal dengan ilmunya. "

3. Takutkan Tuhan

Mereka mestilah orang yang takut dengan Tuhan.
Firman Allah: Maksudnya: "Hanya sanya yang takut dengan Tuhan Itu ialah utama. " (Al Fathir: 28)
Di sini ada dua perkara besar. Ada dua perkataan di dalam ayat ini yang menjadi kunci iaitu ulama dan takut. Oleh itu, ulama di sini ialah orang yang ada ilmu, Yakni ada Hmu dunia dan ilmu Akhirat, ada ilmu tentang Tuhan, tentang syariat dan tentang akhlak. Kemudian dia takut dengan Tuhan.

Setelah itu, Tuhan berfirman lagi, kalau ulama itu mem-punyai ilmu dunia dan ilmu Akhirat dan dia takut pula dengan Tuhan, maka Tuhan perintahkan melalui ayat-Nya: Maksudnya: "Hendaklah kamu bertanya (tentang Akhirat, tentang dunia iaitu hal-hal ekonomi, masya-rakat dan lain-lain) kepada ahii zikir jiko kamu tidak mengetahui." (An Nahl: 43)

Rupanya, ulama itu ialah ahli zikir . Ahli itu orangnya. Zikir itu sifatnya. Ertinya ulama itu, hatinya terhubung dengan Tuhan dan sentiasa terisi dengan rasa cinta dan takutkan Tuhan. Hatinya sentiasa hampir (qarib) dengan Tuhan kerana itulah maksud zikir yang sebenarnya. Zikir bukan setakat memegang biji tasbih dan melafazkan istilah-istilah dan ayat ayat zikir. Itu belum boleh dikatakan zikir kerana hanya dibibfr sahaja. Belum terasa di hati. Zikir itu ialah apa yang dirasakan di hati. Dengan kata-katayang lain, ulama itu setidak-tidaknya bertaraf muqarabbin.

Ertinya lagi, ulama itu ilmunya mendarah daging. Maksud-nya dia tidak payah buka kitab. Bila ditanya tentang ilmu Islam, dia boleh terus jawab. Bila dia ditanya tentang masya-rakat Islam, pejam-pejam mata sahaja, dia boleh jawab. Kalau perlu buka kitab, itu guru hendak mengajar atau muailim, bukan ulama. Lagipun apa yang ada dalam kitab itu ilmu orang lain bukan ilmu dia. Kalau buka kitab Imam As Syafie, maka itu ilmu Imam As Syafie. Kalau buka kitab Imam Al Ghazali, maka itu ilmu imam Al Ghazali. Dia hanya menyampaikan ilmu orang. Kalau hanya setakat menyampaikan ilmu orang lain, tidak bolehlah dikatakan ulama.

Ulama atau ahli zikir ini, hatinya ibarat gudang. Segala jenis barang ada di dalamnya. Mintalah apa sahaja yang diperlukan, nescaya dia boleh bagi. Hendak minta apa pun, semua ada di dalam gudang itu. Dia tidak rujuk kepada orang. Malahan dia adalah tempat rujuk. Dia tidak merujuk kepada kitab yang ditulis oleh orang. Dia merujuk kepada hatinya yang penuh dengan ilmu. Sebab itulah, bila disuruh bertanya, Allah tidak sebut tanya guru. Tetapi tanyalah ahli zikir.

Oleh itu, kalau kerajaan atau umara, orang besar atau kecil atau rakyat hendak bertanya, tanyalah ulama atau ahli zikir seperti ini. Jangan tanya para ustaz atau muailim. Walau-pun mereka mempunyai ijazah, hakikatnya mereka faham hanya satu-satu bab sahaja dari ilmu Islam.

Pemimpin sebenar (umara) perlu bergantung kepada ulama atau ahli zikir seperti ini. Kemudian dia apply dan praktikkan ilmu dan nasihat ulama tersebut kepada masyarakat. Ulama seperti ini tidak perlu menonjolkan diri. Kalau dia perjuangkan ilmunya, dia akan tertonjol sendiri.

Semua Tentang Ilmu

Telah menjadi fitrah semula jadi setiap manusia, tidak kira apa kaum atau bangsa, suka kepada ilmu. Justeru itulah setiap orang berlumba-lumba menuntut dan mencari ilmu di dalam berbagai-bagai bidang. Pada umat Islam pula ia didorong lagi oleh ajaran agamanya.
Sebagaimana firman Allah:
Maksudnya: ... supaya Allah meninggikan darjat orang yang beriman di kalangan kamu dan orang yang diberi ilmu pengetahuan, beberapa darjat. (Al Mujadalah: 11)

Sabda Rasulullah SAW:
Maksudnya: Menuntut ilmu itu wajib ke atas setiap muslimin dan muslimat. Sabda baginda lagi: Maksudnya: Kelebihan orang yang berilmu atas orang yang abid seperti kelebihanku atas orang yang terendah dari umatku. (Riwayat At Tarmizi)

Maksudnya: Kelebihan orang yang berilmu atas orang yang abid ibarat bulan purnama terhadap seluruh bintang. (Riwayat Abu Daud)

Dalam Islam, menuntut ilmu itu adalah wajib, ada yang fardhu ain, ada yang fardhu kifayah. Manusia suka menuntut ilmu itu kerana memandangkan peranan ilmu itu di dalam kehidupan sangat memberi faedah-faedah dan memberi kesan, antaranya:

  1. Orang yang bodoh susah berhadapan dengan kehidupan yang bersimpang-siur dan pancarobanya, maka perlulah ilmu untuk berhadapan dengannya.
  2. Dengan ilmu pengetahuan ada manusia boleh maju di dalam bidang ekonomi.
  3. Dengan ilmu pengetahuan ada manusia boleh maju di dalam bidang pembangunan.
  4. Dengan ilmu pengetahuan ada manusia boleh maju di dalam bidang perhubungan.
  5. Dengan ilmu pengetahuan ada manusia boleh maju di dalam bidang ketenteraan dan persenjataan.
  6. Dengan ilmu pengetahuan ada manusia boleh maju di dalam berbagai-bagai bidang yang lain.
  7. Dengan ilmu pengetahuan ada manusia boleh memberi makan otak dan jiwa.
  8. Dengan ilmu pengetahuan ada manusia boleh menjadi kawan di waktu ketika apa dan suasana apa sekalipun.
  9. Dengan ilmu pengetahuan ada manusia boleh membawa kehidupan yang mudah dan senang.
  10. Dengan ilmu pengetahuan ada manusia biasa boleh menguasai orang atau kaum dan bangsa-bangsa yang bodoh.
  11. Dengan ilmu pengetahuan ada manusia dihormati dan disegani orang.
  12. Dengan ilmu pengetahuan ada manusia mudah membuat kerja yang susah dan mencabar.
  13. Dengan ilmu pengetahuan ada manusia mudah mendapat kejayaan dunia dan Akhirat.
  14. Dengan ilmu pengetahuan ada manusia biasa dia memimpin orang yang bodoh.
  15. Dengan ilmu pengetahuan jarang orang menjadi miskin.
  16. Dengan ilmu pengetahuan manusia boleh mendapat harta dan kekayaan.
  17. Dengan ilmu pengetahuan manusia boleh mendapat kuasa


Walaupun telah menjadi fitrah manusia suka dengan ilmu pengetahuan dan berusaha mencarinya, namun tidak semua orang dapat memiliki ilmu yang banyak dan tinggi.

Di antara sebabnya adalah seperti berikut:

  1. Kerana seseorang itu Allah Taala telah takdirkan lemah akal fikirannya. Dengan sebab itu dia tidak mampu menimba ilmu yang banyak.
  2. Mungkin seseorang itu tidak dapat peluang belajar dengan cukup kerana kemiskinan dan kesusahan hidup.
  3. Kerana tidak ada peluang-peluang kemudahan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang tinggi seperti tempat belajar jauh.
  4. Kerana ditakdirkan oleh Allah Taala selalu sakit atau kecacatan anggota maka tidak membolehkan cergas menuntut ilmu.
  5. Kerana seseorang itu cepat berkahwin maka terhalanglah untuk mendapat ilmu yang banyak.
  6. Kerana seseorang itu atau sesuatu kaum atau bangsa itu tidak bersungguh-sungguh menuntut ilmu pengetahuan atau malas menuntut ilmu.


Di antara sumber-sumber ilmu ialah:

  1. Melalui belajar dan membaca, membuat kajian.
  2. Melalui pengalaman.
  3. Bagi rasul atau nabi melalui wahyu.
  4. Bagi orang yang bertaqwa, melalui ilham.


Orang yang menuntut dan mencari ilmu ada beberapa golongan pula. Di antaranya seperti disenaraikan di bawah:

  1. Menuntut dan mencari ilmu kerana ilmu semata-mata. Dia seronok, mabuk dan asyik dengan ilmu. Inilah golongan orang yang mencari ilmu kerana ilmu semata-mata atau golongan mabuk ilmu.
  2. Orang yang mencari ilmu kerana inginkan kekayaan dan harta dunia. Dengan ilmu yang banyak dan tinggi, boleh menjawat jawatan yang tinggi dan dapat gaji besar. Dengan ilmu juga ada orang boleh pandai berniaga. Dengan berniaga, boleh mendapat kekayaan dan harta. Inilah golongan menggunakan ilmu untuk mendapat kekayaan.
  3. Ada orang mencari ilmu kerana ingin menjadi pemimpin. Seseorang yang hendak menjadi pemimpin mesti ada ilmu. Kalau tidak, sudah tentu tidak boleh memimpin orang. Atas sebab ini, ada golongan memburu ilmu. Inilah golongan yang menggunakan ilmu untuk menjadi pemimpin.
  4. Ada setengah golongan pula bersungguh-sungguh mencari ilmu kerana ingin nama dan glamour. Agar orang menganggap dia golongan intelek. Moga-moga dia dihormati orang dan moga-moga nama masyhur. Inilah golongan ahli ilmu yang inginkan nama.
  5. Ada orang belajar ilmu kerana hendak keluar daripada kebodohan dan kejahilan. Agar jangan orang memandang hina. Jahil itu dipandang tidak baik. Maka mereka pun belajarlah ilmu pengetahuan hingga menjadi orang yang pandai. Inilah golongan ahli ilmu yang mendapatkan ilmu agar tidak terhina.
  6. Ada orang menuntut dan mencari ilmu kerana ingin membangun dan maju demi kedaulatan dan kemegahan bangsa dan negara. Agar jangan bangsanya mundur dan terhina. Inilah golongan ahli ilmu yang berfahaman nasionalisme.
  7. Orang yang menuntut ilmu kerana perintah Allah Taala. Juga dengan tujuan agar dapat mengamalkan ilmu supayaboleh mengabdikan dan mendekatkan diri kepada Allah Taala. Moga-moga dengan itu mendapat keredhaan Allah Taala dan terselamat daripada kehinaan di dunia dan di Akhirat. Golongan ini menggunakan ilmu untuk membangunkan ekonomi, ketenteraan, pertanian, bangunan, sekolah, pejabat, jalan raya dan lain-lain lagi. Ia adalah dengan tujuan agar dapat melindungi iman, memperkuatkan syariat, membesarkan syiar Tuhan dan mendaulatkan hukumhukum Tuhan. Justeru itu, di dalam membangun melalui ilmunya, mereka sangat menjaga syariat, terlalu menjaga halal dan haram, tidak lari daripada disiplin Islam hingga seluruh usaha dan kemajuan yang dibangunkan menjadi ibadah, menjadi amal soleh, dianggap jihad fisabilillah dan diberi pahala yang besar oleh Allah Taala yang Maha Pemurah. Inilah golongan ahli ilmu yang bertaqwa.


Kita umat Islam, dalam menuntut dan mencari ilmu biarlah menjadi golongan yang ketujuh itu, iaitu mencari ilmu kerana Allah Taala. Kalau bukan kerana Allah Taala, termasuk orang yang rugi. Kalaupun mendapat untung di dunia, namun rugi di Akhirat kerana masuk Neraka.Waliyazubillah.



SabdaRasulullahSAW:
Maksudnya: Sesiapa yang menuntut ilmu dengan maksud untuk bersaing dengan para ulama atau untuk mujadalah dengan orang-orang yang jahil atau untuk mengambil perhatian manusia, ia akan masuk Neraka.

Sabda baginda lagi:
Maksudnya: Barang siapa yang bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah amalannya dia akan bertambah jauh dari Allah.

Di antara sumber-sumber ilmu ialah:
1. Melalui belajar dan membaca, membuat kajian.
2. Melalui pengalaman.
3. Bagi rasul atau nabi melalui wahyu.
4. Bagi orang yang bertaqwa, melalui ilham.

Orang yang menuntut dan mencari ilmu ada beberapa golongan. Di antaranya adalah:
1. Menuntut dan mencari ilmu karena ilmu semata-mata. Dia sangat senang, mabuk dan asyik dengan ilmu. Inilah golongan orang yang mencari ilmu karena ilmu semata-mata atau golongan mabuk ilmu.
2. Orang yang mencari ilmu karena menginginkan kekayaan dan harta dunia. Dengan ilmu yang banyak dan tinggi, dapat menjabat pada jabatan yang tinggi dan dapat gaji besar. Dengan ilmu juga orang menjadi pandai berniaga. Dengan berniaga, akan mendapat kekayaan dan harta. Inilah golongan menggunakan ilmu untuk mendapat kekayaan.
3. Ada orang mencari ilmu karena ingin menjadi pemimpin. Seseorang yang hendak menjadi pemimpin mesti ada ilmu. Kalau tidak, sudah tentu tidak dapat memimpin orang. Atas sebab ini, ada golongan memburu ilmu. Inilah golongan yang menggunakan ilmu untuk menjadi pemimpin.
4. Ada setengah golongan bersungguh-sungguh mencari ilmu karena ingin nama dan glamour. Agar orang menganggap dia golongan intelek. Moga-moga dia dihormati orang dan moga-moga namanya masyhur. Inilah golongan ahli ilmu yang inginkan nama.
5. Ada orang belajar ilmu karena hendak keluar dari kebodohan dan kejahilan. Agar jangan orang memandang hina. Jahil itu dipandang tidak baik. Maka mereka pun belajar ilmu pengetahuan hingga menjadi orang yang pandai. Inilah golongan ahli ilmu yang mendapatkan ilmu agar tidak terhina.
6. Ada orang menuntut dan mencari ilmu karena ingin membangun dan maju demi kedaulatan dan kemegahan bangsa dan negara. Agar jangan bangsanya mundur dan terhina. Inilah golongan ahli ilmu yang berfahaman nasionalisme.
7. Orang yang menuntut ilmu karena perintah Allah Taala. Juga dengan tujuan agar dapat mengamalkan ilmu supaya dapat mengabdikan dan mendekatkan diri kepada Allah Taala. Moga-moga dengan itu mendapat keredhaan Allah Taala dan terselamat dari kehinaan di dunia dan di Akhirat. Golongan ini menggunakan ilmu untuk membangunkan ekonomi, ketenteraan, pertanian, bangunan, sekolah, pemerintahan, jalan raya dan lain-lain lagi. Ia adalah dengan tujuan agar dapat melindungi iman, memperkuatkan syariat, membesarkan syiar Tuhan dan mendaulatkan hukum-hukum Tuhan. Justru itu, di dalam membangun melalui ilmunya, mereka sangat menjaga syariat, terlalu menjaga halal dan haram, tidak lari daripada disiplin Islam hingga seluruh usaha dan kemajuan yang dibangunkan menjadi ibadah, menjadi amal soleh, dianggap jihad fisabilillah dan diberi pahala yang besar oleh Allah Taala yang Maha Pemurah. Inilah golongan ahli ilmu yang bertaqwa.

Kita umat Islam, dalam menuntut dan mencari ilmu biarlah menjadi golongan yang ketujuh itu, yaitu mencari ilmu karena Allah Taala. Kalau bukan karena Allah Taala, termasuk orang yang rugi. Kalaupun mendapat untung di dunia, namun rugi di Akhirat karena masuk Neraka. Wal‘iyazubillah.

Sabda Rasulullah SAW:
Artinya: “Siapa yang menuntut ilmu dengan maksud untuk bersaing dengan para ulama atau untuk mujadalah dengan orang-orang yang jahil atau untuk mengambil perhatian manusia, ia akan masuk Neraka.”

Sabda baginda lagi:
Artinya: “Barang siapa yang bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah amalannya dia akan bertambah jauh dari Allah.”

Sajak 1
Ilmu Penyuluh Hidup

Bagi orang mukmin, ilmu adalah penyuluh hidupnya!
Pengalamannya adalah pengajaran, iktibar dan penasihatnya
Takutnya kepada Tuhan adalah pengawal diri
Sabarnya adalah perisai hidupnya
Redha dengan Tuhan karena baik sangka dengan Tuhannya
Tawakalnya adalah harapan masa depannya
Bacaan Al Quran adalah hiburannya
dan bercakap-cakap dengan Tuhan
Juga perbualannya dengan Tuhan Pencipta manusia
Selawat adalah penyejuk dan pelembut hatinya
Doa dan permintaannya kepada Tuhannya tanda dia hamba
Hamba adalah hina, lemah,
memerlukan pertolongan Tuhannya
Shalatnya adalah pembaharuan ikrar
dan membaharukan syahadah
Serta membersihkan jiwa dari mazmumah
Begitulah peranan setengah daripada sifat-sifat mahmudah
Juga setengah dari peranan mendirikan shalat
Kalau begitu coba gambarkan
orang yang tidak shalat
Yang juga memiliki sifat-sifat mazmumah
Artinya segala masalah berkumpul di kepala dan jiwanya
Bagaimana tidak menderita dan tersiksa
Mampukah menanggungnya?!

Lepas ekspedisi
28 – 09 – 1999

Sajak 2
Berlindung dari Ilmu yang Tidak Bermanfaat

Marilah kita berlindung dengan Allah
daripada ilmu yang tidak memberi manfaat
Karena ia akan menjadi beban di Akhirat
Bahkan ia akan melaknat
Sohibul ilmi masuk ke dalam Neraka
500 ratus lebih dahulu daripada penyembah berhala
Ilmu yang tidak memberi manfaat, niat bukan karena Allah
Bila diperolehinya hanya untuk mujadalah dan bermegah-megah
Untuk diforum-forumkan dan disyarah-syarahkan,
bukan diamalkan, tapi penuh dengan ujub dan riyak
Mementingkan kertas kerja jadi budaya,
kemudian mesti diberi upah
Setiap apa yang hendak disampaikan mesti ada ganjarannya
Kalau tidak, ilmu tidak akan disampaikan
Makin bertambah ilmu, makin nampak bongkak
dan sombongnya
Dan terasa ‘orang luar biasa’ dengan ilmunya
Jika ada orang yang lebih darinya, sakit hatinya
Bila berbincang dia mau menang saja
Kalau kebenaran itu datang daripada orang lain,
susah mau menerimanya
Gambaran peribadi Rasulullah SAW tidak ada pada dirinya
Peribadinya seperti orang biasa, bahkan nampak angkuhnya
Orang ini tidak akan bergaul
dengan orang yang dipandang rendah
Kecuali keadaan memaksanya
Inilah dia ulama suk yang disabdakan oleh Rasulullah
Kita disuruh jauhi mereka
Bahkan disuruh takut lebih daripada seekor singa yang galak
Karena ia akan melalaikan, bisa jadi menyesatkan

MENUNTUT ILMU DALAM PANDANGAN ISLAM
Oleh : Solehudin Irawan
web site : Http:\\www.geocities.com\broadway\4516\
 
 
"Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri cina".
 
Kadang-kadang kita lupa untuk apa sebenarnya kita menuntut ilmu, dan kita
juga lupa apa hukumnya menuntut ilmu dalam agama Islam. Dalam hal tersebut,
saya ingin mengingatkan kembali untuk apa sebenarnya, dan apa hukumnya kita
menuntut ilmu dalam agama Islam. Hal ini saya sadur dari buku "Ilmu fiqih
Islam" karangan Drs.H.Moh.Rifai.
 
Insya Allah tulisan ini bisa mengingatkan kembali dan akan menjadi patokan
untuk kita melanjutkan perjalanan kita dalam menuntut ilmu, baik ilmu dunia
maupun ilmu akhirat....amin ya rabbal alamin
 
  1.. HUKUM MENUNTUT ILMU.
Apabila kita memperhatikan isi Al-Quran dan Al-Hadist, maka terdapatlah
beberapa suruhan yang mewajibkan bagi setiap muslim baik laki-laki maupun
perempuan, untuk menuntut ilmu, agar mereka tergolong menjadi umat yang
cerdas, jauh dari kabut kejahilan dan kebodohan. Menuntut ilmu artinya
berusaha menghasilkan segala ilmu, baik dengan jalan menanya, melihat atau
mendengar. Perintah kewajiban menuntut ilmu terdapat dalam hadist Nabi
Muhammad saw :
Artinya :
"Menuntut ilmu adalah fardhu bagi tiap-tiap muslim, baik laki-laki maupun
perempuan". (HR. Ibn Abdulbari)
 
Dari hadist ini kita memperoleh pengertian, bahwa Islam mewajibkan
pemeluknya agar menjadi orang yang berilmu, berpengetahuan, mengetahui
segala kemashlahatan dan jalan kemanfaatan; menyelami hakikat alam, dapat
meninjau dan menganalisa segala pengalaman yang didapati oleh umat yang
lalu, baik yang berhubungan dangan 'aqaid dan ibadat, baik yang berhubungan
dengan soal-soal keduniaan dan segala kebutuhan hidup.
 
Nabi Muhammad saw. bersabda :
Artinya :
"Barang siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah
ia memiliki ilmunya ; dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia)
diakhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan barangsiapa yang
meginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula". (HR.
Bukhari dan Muslim)
 
Islam mewajibkan kita menuntut ilmu-ilmu dunia yang memberi manfaat dan
berguna untuk menuntut kita dalam hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan
kita di dunia, agar tiap-tiap muslim jangan picik ; dan agar setiap muslim
dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat membawa kemajuan
bagi penghuni dunia ini dalam batas-batas yang diridhai Allah swt.Demikian
pula Islam mewajibkan kita menuntut ilmu akhirat yang menghasilkan natijah,
yakni ilmu yang diamalkan sesuai dengan perintah-perintah syara'.Hukum
wajibnya perintah menuntut ilmu itu adakalanya wajib 'ain dan adakalnya
wajib kifayah.
 
Ilmu yang wajib 'ain dipelajari oleh mukallaf yaitu yang perlu diketahui
untuk meluruskan 'aqidah yang wajib dipercayai oleh seluruh muslimin ; dan
yang perlu di ketahui untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang
difardhukan atasnya, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
Disamping itu perlu dipelajari ilmu akhlak untuk mengetahui adab sopan
santun yang perlu kita laksanakan dan tingkah laku yang harus kita
tinggalkan. Disamping itu harus pula mengetahui kepandaian dan keterampilan
yang menjadi tonggak hidupnya.
 
Adapun pekerjaan-pekerjaan yang tidak dikerjakan sehari-hari maka di
wajibkan mempelajarinya kalau di kehendaki akan melaksanakannya, seperti
seseorang yang hendak memasuki gapura pernikahan, seperti syarat-syarat dan
rukun-rukunnya dan segala yang di haramkan dan dihalalkan dalam menggauli
istrinya.
Sedang ilmu yang wajib kifayah hukum mempelajarinya, ialah ilmu-ilmu yang
hanya menjadi pelengkap, misalnya ilmu tafsir, ilmu hadist dan sebagainya.
 
  1.. MENUNTUT ILMU SEBAGAI IBADAT.
  Dilihat dari segi ibadat, sungguh menuntut ilmu itu sangat tinggi nilai
dan pahalanya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.
 
  Artinya :
 
  "Sungguh sekiranya engkau melangkahkan kakinya di waktu pagi (maupun
petang), kemudian mempelajari satu ayat dari Kitab Allah (Al-Quran), maka
pahalanya lebih baik daripada ibadat satu tahun".
 
  Dalam hadist lain dinyatakan :
 
  Artinya :
 
  "Barang siapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah termasuk
golongan sabilillah (orang yang menegakkan agama Allah) hingga ia sampai
pulang kembali".
 
  Mengapa menuntut ilmu itu sangat tinggi nilainya dilihat dari segi
ibadat?. Karena amal ibadat yang tidak dilandasi dengan ilmu yang
berhubungan dengan itu, akan sia-sialah amalnya. Syaikh Ibnu Ruslan dalam
hal ini menyatakan :
 
  Artinya :
 
  "Siapa saja yang beramal (melaksanakan amal ibadat) tanpa ilmu, maka
segala amalnya akan ditolak, yakni tidak diterima".
 
  2.. DERAJAT ORANG YANG BERILMU.
Kalau kita telah mempelajari dan memiliki ilmu-ilmu itu, apakah kewajiban
kita yang harus ditunaikan?.
Kewajiban yang harus ditunaikan ialah mengamalkan segala ilmu itu, sehingga
menjadi ilmu yang bermanfaat, baik untuk diri kita sendiri maupun bagi orang
lain.
Agar bermanfaat bagi orang lain hendaklah ilmu-ilmu itu kita ajarkan kepada
mereka. Mengajarkan ilmu-ilmu ialah memberi penerangan kepada mereka dengan
uraian lisan, atau dengan melaksanakan sesuatu amal di hadapan mereka, atau
dengan jalan menyusun dan mengarang buku-buku untuk dapat diambil
manfaatnya.
 
Mengajarkan ilmu kecuali memang diperintah oleh agama, sungguh tidak
disangkal lagi, bahwa mengajar adalah suatu pekerjaan yang seutama-utamanya.
Nabi diutus ke dunia inipun dengan tugas mengajar, sebagaimana sabdanya :
Artinya :
"Aku diutus ini, untuk menjadi pengajar".(HR. Baihaqi)
 
Sekiranya Allah tidak membangkitkan Rasul untuk menjadi guru manusia, guru
dunia, tentulah manusia tinggal dalam kebodohan sepanjang masa.
Walaupun akal dan otak manusia mungkin menghasilkan berbagai ilmu
pengetahuan, namun masih ada juga hal-hal yang tidak dapat dijangkaunya,
yaitu hal-hal yang diluar akal manusia. Untuk itulah Rasul Allah di
bangkitkan di dunia ini.
Mengingat pentingnya penyebaran ilmu pengetahuan kepada manusia/masyarakat
secara luas, agar mereka tidak dalam kebodohan dan kegelapan, maka di
perlukan kesadaran bagi para mualim, guru dan ulama, untuk beringan tangan
menuntun mereka menuju kebahagian dunia dan akhirat. Bagi para guru dan
ulama yang suka menyembunyikan ilmunya, mendapat ancaman, sebagaimana sabda
Nabi saw.
Artinya :"Barang siapa ditanya tentang sesuatu ilmu, kemudian menyembunyikan
(tidak mau memberikan jawabannya), maka Allah akan mengekangkan (mulutnya),
kelak dihari kiamat dengan kekangan ( kendali) dari api neraka".(HR Ahmad)
 
Marilah kita menuntut ilmu pengetahuan, sesempat mungkin dengan tidak ada
hentinya tanpa absen sampai ke liang kubur, dengan ikhlas dan tekad
mengamalkan dan menyumbangkannya kepada masyarakat, agar kita semua dapat
mengenyam hasil dan buahnya. Terpisahnya Ilmu Agama dan Ilmu Umum dewasa ini dengan mudah

dapat terlihat dari terpisahnya lembaga pendidikan agama dan

pendidikan umum. Di Indonesia misalnya kita mengenal Pondok

Pesantren atau PGA dan IAIN sebagai institusi yang mengajarkan

ilmu agama, sedangkan SD, SMP, SMA dan Universitas sebagai

institusi yang mengajarkan ilmu umum.



Islam sebetulnya tidak mengenal adanya pemisahan antara ilmu

agama dan ilmu umum, karena didalam Islam terdapat pola

hubungan dan peranan yang saling terkait antara keduanya.



Ilmu menurut Islam tidak dapat dipisahkan dari sumbernya.

Sumber ilmu tersebut adalah Al-'Alim (Maha Tahu) dan Al-Khabir

(Maha Teliti). Hal ini dijelaskan dalam Al-Quranul Karim pada

surat Al An'aam ayat 59: Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci

semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia

sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan,

dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia

mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam

kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,

melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).



Karena sumber ilmu itu adalah Allah dan karena La-khaliqa-

illa-Allah, maka ilmu itu disampaikan kepada manusia melalui

dua jalur. Jalur pertama, disebut sebagai Atthariqah Ar-

rasmiah, yaitu jalur formal/resmi. Ilmu yang disampaikan

melalui jalur ini adalah ilmu formal sering disebut sebagai

revelation (wahyu). Karena ilmunya ilmu formal, maka

pembawanya juga merupakan pembawa formal yaitu Ar-rusul (

rasul). Objek dari ilmu formal ini disebut Al-ayat Alqauliyah

yang redaksinya juga formal (tidak ditambahi/dikurangi atau

dirobah). Tujuan dari ilmu formal ini adalah minhaj-ul hayah

(Pedoman Hidup). Dalam surat Al-Baqarah ayat 2 dijelaskan :

Kitab (Al-Quran) ini tiada keraguan padanya; petunjuk bagi

mereka yang bertaqwa. Karena sudah dijelaskan bahwa Al-Quran

itu tiada keraguan didalamnya, maka nilai kebenaran yang

dikandung oleh Al-Ayat-Alqauliyah ini adalah nilai

Al-haqiqat Al-mutlaqah (kebenaran mutlak).



Jalur kedua, disebut sebagai Atthariqah ghairu rasmiah (jalur

informal). Pada jalur ini ilmu itu disampaikan melalui ilham

(inspiration) secara langsung dan siapapun bisa mendapatkannya

sesuai dengan iradat-Allah. Objek dari ilmu informal ini

adalah Al-ayat Alkauniah dan tujuannya adalah wa sailul hayah

(perbaikan sarana hidup). Adapun nilai kebenaran ilmu yang

diperoleh pada jalur ini disebut sebagai Al-haqiqah

attajribiah (kebenaran eksperimental) atau empiris.



Walaupun jalur memperolehnya berbeda namun pada dasarnya

kedua jalur ini saling berkaitan satu dengan lainnya. Al-ayat

Alqauliyah merupakan isyarat ilmiah terhadap Al-ayat

Alkauniyah, sedangkan Al-ayat Alkauniyah merupakan Al-burhan

(memperkaya penjelasan) terhadap Al-ayat Alqauliyah. Kedua

jalur ini akhirnya bermuara pada kemaslahatan manusia.



Pada dasarnya Al-ayat-Alqauliyah yang tertera didalam Al-Quran

sekurang-kurangnya memiliki 3 macam isyarat. Pertama, disebut

isyarat ilmiah, yang memerlukan sikap ilmiah (riset) untuk

mendalaminya. Kedua, disebut isyarat ghaibiyah (gaib), yang

memerlukan sikap beriman untuk memahaminya. Dan ketiga,

disebut sebagai isyarat hukmiyah (hukum) yang memerlukan sikap

kesediaan untuk mengamalkannya. Kadang-kadang sering terjadi

kerancuan dalam bersikap terutama dalam menangkap ketiga jenis

isyarat tersebut. Misalnya isyarat hukmiyah ditanggapi secara

ilmiah, contohnya larangan memakan babi. Sering kita terjebak

dengan membuang-buang waktu untuk melakukan riset tentang babi

ini dalam kerangka membuktikan larangan Allah tersebut. Yang

jelas ada atau tidak ada hasil riset tentang babi itu larangan

memakan babi itu tetap adanya. Begitu juga isyarat ghaibiyah.

Walaupun sudah dijelaskan didalam Al-Quran bahwa tentang yang

ghaib ini pengetahuan manusia terbatas pada apa yang

disampaikan Allah didalam Al-Quran, tetapi masih ada orang

yang mencoba melakukan riset (me reka-reka) tentang isyarat

gahibiyah ini. Dan yang lebih parah lagi begitu banyaknya

isyarat ilmiah di dalam Al-Quran, namun sikap ilmiah dalam

memahami isyarat ini tidak muncul sehingga ummat Islam

tertinggal dalam memahami Al-ayat Alkauniyah.

A. Pendahuluan

Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Menurut Langgulung pendidikan Islam tercakup dalam delapan pengertian, yaitu At-Tarbiyyah Ad-Din (Pendidikan keagamaan), At-Ta’lim fil Islamy (pengajaran keislaman), Tarbiyyah Al-Muslimin (Pendidikan orang-orang islam), At-tarbiyyah fil Islam (Pendidikan dalam islam), At-Tarbiyyah ‘inda Muslimin (pendidikan dikalangan Orang-orang Islam), dan At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah (Pendidikan Islami).

Arti pendidikan Islam itu sendiri adalah pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam secara lengkap isi suatu ilmu bukanlah hanya teori.

Hakikat manusia menurut Islam adalah makhluk (ciptaan) Tuhan, hakikat wujudnya bahwa manusia adalah mahkluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan.

Manusia sempurna menurut Islam adalah jasmani yang sehat serta kuat dan Berketerampilan, cerdas serta pandai.

Tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.

B. Pendidikan Dalam Perspektif Islam

Pengertian pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaan. Pendidik Islam ialah Individu yang melaksanakan tindakan mendidik secara Islami dalam situasi pendidikan islam untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Menurut Langgulung (1997), pendidikan Islam tercakup dalam delapan pengertian, yaitu At-Tarbiyyah Ad-Din (Pendidikan keagamaan), At-Ta’lim fil Islamy (pengajaran keislaman), Tarbiyyah Al-Muslimin (Pendidikan orang-orang islam), At-tarbiyyah fil Islam (Pendidikan dalam islam), At-Tarbiyyah ‘inda Muslimin (pendidikan dikalangan Orang-orang Islam), dan At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah (Pendidikan Islami).

Pendidik Islam ialah Individu yang melaksanakan tindakan mendidik secara Islami dalam situasi pendidikan islam untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Para ahli pendidikan lebih menyoroti istilah-istilah dari aspek perbedaan antara tarbiyyah dan ta’lim, atau antara pendidikan dan pengajaran. Dan dikalangan penulis Indonesia, istilah pendidikan biasanya lebih diarahkan pada pembinaan watak, moral, sikap atau kepribadian, atau lebih mengarah kepada afektif, sementara pengajaran lebih diarahkan pada penguasaan ilmu pengetahuan atau menonjolkan dimensi kognitif dan psikomotor.

Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas cakupannya sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental, dan sosial sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup, sikap hidup, atau keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak, yang kedua pengertian ini harus bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam yang bersumber dari al Qur’an dan Sunnah (Hadist). Menurut Prof. Dr. Mohammad Athiyah al Abrasyi pendidik itu ada tiga macam :

1. Pendidikan Kuttab

Pendidikan ini ialah yang mengajarkan al Qu’ran kepada anak-anak dikuttab. Sebagian diantara mereka hanya berpengetahuan sekedar pandai membaca, menulis dan menghafal al Qur’an semata.

2. Pendidikan Umum

Ialah pendidikan pada umumnya, yang mengajarkan dilembaga-lembaga pendidikan dan mengelola atau melaksanakan pendidikan Islam secara formal sperti madrasah-madrasah, pondok pesantren ataupun informal seperti didalam keluarga.

3. Pendidikan Khusus

Adalah pendidikan secara privat yang diberikan secara khusus kepada satu orang atau lebih dari seorang anak pembesar kerajaan (pejabat) dan lainnya.

C. Defenisi Ilmu Pendidikan Islam

Ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam secara lengkap isi suatu ilmu bukanlah hanya teori, tetapi isi lain juga ada ialah :

1. Teori.

2. Penjelasan tentang teori itu.

3. Data yang mendukung tentang penjelasan itu.

Islam adalah nama Agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw, yang berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia ; ajaran itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada al Qur’an dan hadist serta aqal. Penggunaan dasarnya haruslah berurutan :al Qur’an lebih dahulu ; bila tidak ada atau tidak jelas dalam al Qur’an maka harus dicari dalam hadist ; bila tidak ada atau tidak jelas didalam hadist, barulah digunakan aqal (pemikiran), tetapi temuan aqal tidak boleh bertentangan dengan jiwa al Qur’an dan hadist.

D. Tujuan Umum Pendidikan Manusia

1. Hakikat manusia menurut Islam

Manusia adalah makhluk (ciptaan) Tuhan, hakikat wujudnya bahwa manusia adalah mahkluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan.

Dalam teori pendidikan lama, yang dikembangkan didunia barat, dikatakan bahwa perkembangannya seseorang hanya dipengaruhi oleh pembawaan (nativisme) sebagai lawannya berkembang pula teori yang mengajarkan bahwa perkembangan seseorang hanya ditentukan oleh lingkungannya (empirisme), sebagai sintesisnya dikembangkan teori ketiga yang mengatakan bahwa perkembangan seseorang ditentukan oleh pembawaan dan lingkungannya (konvergensi)

Manusia adalah makhluk utuh yang terdiri atas jasmani, akal, dan rohani sebagai potensi pokok, manusia yang mempunyai aspek jasmani, disebutkan dalam surah al Qashash ayat : 77 :

“Carilah kehidupan akhirat dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadamu tidak boleh melupakan urusan dunia “

2. Manusia Dalam Pandangan Islam

Manusia dalam pandangan Islam mempunyai aspek jasmani yang tidak dapat dipisahkan dari aspek rohani tatkala manusia masih hidup didunia.

Manusia mempunyai aspek akal. Kata yang digunakan al Qur’an untuk menunjukkan kepada akal tidak hanya satu macam. Harun Nasution menerangkan ada tujuh kata yang digunakan :

1. Kata Nazara, dalam surat al Ghasiyyah ayat 17 :

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan”

2. Kata Tadabbara, dalam surat Muhammad ayat 24 :

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”

3. Kata Tafakkara, dalam surat an Nahl ayat 68 :

“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah : “buatlah sarang-sarang dibukit-bukit, dipohon-pohon kayu, dan ditempattempat yang dibikin manusia”.

4. Kata Faqiha, dalam surat at Taubah 122 :

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (kemedan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”

5. Kata Tadzakkara, dalam surat an Nahl ayat 17 :

“Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan apa-apa? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”.

6. Kata Fahima, dalam surat al Anbiya ayat 78 :

“Dan ingatlah kisah daud dan Sulaiman, diwaktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu”.

7. Kata ‘Aqala, dalam surat al Anfaal ayat 22 :

“Sesungguhnya binatang(makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa-pun.

Manusia mempunyai aspek rohani seperti yang dijelaskan dalam surat al Hijr ayat 29 :

“Maka Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan kedalamnya roh-Ku, maka sujudlah kalian kepada-Nya”.

3. Manusia Sempurna Menurut Islam

A. Jasmani Yang sehat Serta Kuat dan Berketerampilan

Islam menghendaki agar orang Islam itu sehat mentalnya karena inti ajaran Islam (iman). Kesehatan mental berkaitan erat dengan kesehatan jasmani, karena kesehatan jasmani itu sering berkaitan dengan pembelaan Islam.

Jasmani yang sehat serta kuat berkaitan dengan ciri lain yang dikehendaki ada pada Muslim yang sempurna, yaitu menguasai salah satu ketrampilan yang diperlukan dalam mencari rezeki untuk kehidupan.

Para pendidik Muslim sejak zaman permulaan - perkembangan Islam telah mengetahui betapa pentingnya pendidikan keterampilan berupa pengetahuan praktis dan latihan kejuruan. Mereka menganggapnya fardhu kifayah, sebagaimana diterangkan dalam surat Hud ayat 37 :

“Dan buatlah bahtera itu dibawah pengawasan dan petunjuk wahyu kami, dan jangan kau bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim itu karena meeka itu akan ditenggelamkan”.

B. Cerdas Serta Pandai

Islam menginginkan pemeluknya cerdas serta pandai yang ditandai oleh adanya kemampuan dalam menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat, sedangkan pandai di tandai oleh banyak memiliki pengetahuan dan informasi. Kecerdasan dan kepandaian itu dapat dilihat melalui indikator-indikator sebagai berikut :

a) Memiliki sains yang banyak dan berkualitas tinggi.

b) Mampu memahami dan menghasilkan filsafat.

c) Rohani yang berkualitas tinggi.

Kekuatan rohani (tegasnya kalbu) lebih jauh daripada kekuatan akal. Karena kekuatan jasmani terbatas pada objek-objek berwujud materi yang dapat ditangkap oleh indera.

Islam sangat mengistemewakan aspek kalbu. Kalbu dapat menembus alam ghaib, bahkan menembus Tuhan. Kalbu inilah yang merupakan potensi manusia yang mampu beriman secara sungguh-sungguh. Bahkan iman itu, menurut al Qur’an tempatnya didalam kalbu.

4. Tujuan Pendidikan Islam

Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.

Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat a Dzariyat ayat 56 :

“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.

Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang benar.

Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah.

Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :

1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.

2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.

3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.

Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi

1. Pembinaan akhlak.

2. menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.

3. Penguasaan ilmu.

4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.

Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat diperinci menjadi :

1. Tujuan keagamaan.

2. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.

3. Tujuan pengajaran kebudayaan.

4. Tujuan pembicaraan kepribadian.

Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan islam menjadi :

1. Bahagia di dunian dan akhirat.

2. menghambakan diri kepada Allah.

3. Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat islam.

4. Akhlak mulia.

E. PENUTUP

Ilmu dalam perspektif Islam bukan hanya mempelajari masalah keagamaan (akhirat) saja, tapi juga pengetahuan umum juga termasuk. Orang Islam dibekali untuk dunia akhirat, sehingga ada keseimbangan. Dan ilmu umum pun termasuk pada cabang (furu’) ilmu agama.

Dan umat Islam sempat merasakan puncak keemasannya, dimana disaat bangsa Eropa mengidap penyakit hitam, umat islam sudah menemukan sabun, di saat jalan-jalan di Eropa kumuh, gelap, tidak teratur, umat islam sudah punya jalan-jalan yang indah, penerangan, bahkan sistem irigasi yang sudah maju.