Selasa, 11 November 2008

Humor dan Pencerahan Pikiran

KETIKA persoalan hidup sehari-hari kian mengimpit, ketika
kenyataan sosial, politik, ekonomi sebuah negeri tengah
tercabik-cabik, manusia cenderung terbelenggu sekaligus teralienasi
terhadap dunianya sendiri. Pada situasi ini, humor -betapa pun ia
dianggap hanya sebagai pelengkap-diperlukan untuk pencerahan pikiran
manusia yang kian mengarah pada kebuntuan. Lewat humor, manusia
meretas kejenuhan dan menjadi lebih peka pada sisi manusiawi yang
dimilikinya.
Dalam konteks inilah pemunculan penyair Jose Rizal Manua di Pusat
Kebudayaan Jepang, Jakarta, Rabu (1/9) malam lalu, dan di Bengkel
Teater (Cipayung) Sabtu malam ini lewat rangkaian acara pembacaan
puisi-puisi humor menjadi bermakna. Di tengah kepungan soal-soal
politik dan ekonomi yang kian menjepit, ia hadir dalam nuansa lain:
menggelitik sekaligus mengajak kita untuk merenung dan memungut
kearifan-kearifan yang ada di balik sebuah humor.
Tampil dengan kimono Jepang warna biru tua bermotif "tumpal",
Jose Rizal membacakan 48 puisi humor (10 di antaranya karya pribadi
alumnus Institut Kesenian Jakarta ini) dengan ekspresif. Kata-kata yang
diteriakkannya terdengar satir; bertutur mulai dari feodalisme hingga
kapitalisme, dari seorang pejabat yang merepresi rakyat dan bertingkah
"semau gue", hingga sosok konglomerat yang sibuk mengakumulasi modal
dan mengeksploitasi rakyat. Korupsi, penjarahan, nepotisme, adalah
gambaran dekadensi moral petinggi-petinggi negeri ini yang
dikedepankan oleh Jose Rizal.
Puisi-puisi humor yang dibacakan Jose Rizal Manua padat dengan
metafora. Diiringi program MIDI, sesekali ia bernyanyi dan
memelesetkan lirik lagu yang pernah ngetop beberapa waktu lalu, sebut
saja Sakit tapi Rindu. Sedangkan kata-kata makian dan humor-humor yang
menyerempet "wilayah seksual", membikin penonton yang menjejali
ruangan di Pusat Kebudayaan Jepang terpingkal-pingkal.
***
IA membuka acaranya dengan puisi Remy Sylado: Ibu Kota, Kota Ibu
yang bercerita tentang seseorang yang berandai-andai kaya dan membeli
Jakarta. Setelah Jakarta dibelinya, Monas, Patung Selamat Datang,
Taman Suropati dan Kali Ciliwung akan dicelupnya jadi putih. Doa Orang
Waras juga diluncurkannya://Tuhanku, lindungilah aku/Aku mau
korupsi/Hanya kepadamu aku memohon/hanya kepadamu aku memohon
perlindungan/Tuhanku, lindungi aku/Aku mau korupsi...
Belajar Membaca karya Slamet Sukirnanto dibawakannya dengan gaya
murid SD yang sedang belajar membaca://Indonesia, negeri kaya/Indah
alamnya, tanahnya subur/Seharusnya makmur/Penduduknya 200 juta/Tetapi,
kenapa banyak yang miskin?/Kenapa banyak yang menderita dan utang
melulu?/Jawabnya sederhana/Sudah lama dikuras dan dijarah/Oleh siapa
dikuras dan dijarah?/Jawabnya tidak sederhana/Ah, aku malu.
Kemudian ia pun melayang-layang dan asyik dengan sebuah Dongeng
dari Negeri Sembako-nya Acep Zamzam Noor. Tuturnya://Ada seorang raja,
hobinya jadi presiden/Ada penyanyi dangdut, iseng-iseng jadi
Gubernur/Ada seorang wali kota, berkelahi dengan pemain sepak bola,
menampar sopir bis kota, serta merongrong satpam toserba/Ada seorang
wakil rakyat, rumahnya habis dibakar rakyat/Ada seorang menteri,
bersaing dengan rakyatnya sendiri, berebut penyanyi asal Sukabumi/Ada
pesawat terbang, ditukar dengan beras ketan/Setiap penguasa, anaknya
pasti pengusaha/Semua orang ingin jadi penguasa, karena sekaligus akan
jadi pengusaha/Ada banyak penguasa dan pengusaha yang kerjanya korupsi
dan kolusi, sekarang ramai-ramai berteriak "hidup reformasi"/Semua
orang ingin jadi konglomerat karena utangnya akan ditanggung
rakyat/Wakil-wakil rakyat adalah ayah, ibu, anak, adik, mantu,
keponakan, paman, bibi, pacar gelap, teman, anaknya teman dan
seterusnya.... Mendengar itu, penonton pun tertawa terbahak-bahak.
***
BETAPA pun, humor itu penting dalam kehidupan. Humor adalah suatu
cara untuk relaksasi, menyingkirkan ketegangan dan membantu untuk
menjernihkan pikiran. Prof Dr James Danandjaya, ahli folklor dari
FISIP Universitas Indonesia yang gemar mengumpulkan cerita-cerita
humor, mengatakan bahwa guna humor adalah sarana rekreasi, penyaluran
perasaan tercekal bagi pencerita dan pendengarnya, membuat kita
tertawa sehingga kesejahteraan mental terjaga.
"Humor dapat pula berupa protes sosial. Kalau kita tidak puas
terhadap satu keadaan tetapi jika terang-terangan tidak berani, protes
bisa lewat humor. Kalau lewat humor, itu lebih halus dan anonim, tidak
ada nama, seperti folklor. Jadi humor berfungsi sebagai sublimasi,
memperluhur ketidakpuasan," ujar Danandjaya.
Untuk masyarakat yang tengah berada pada kondisi yang tidak
berketentuan seperti saat ini, kata Danandjaya, humor penting dan
diperlukan. "Kalau kita dengar kasak-kusuk, kita akan marah dan
menyerang. Jika melalui humor, kita akan tertawa. Yang terkena pun
harus mengambil manfaat, introspeksi dan tidak boleh marah. Para
pejabat harus bisa memanfaatkan humor ini untuk memperbaiki kebijakan
atau perilakunya," ujarnya.
Menurut Jose Rizal Manua, orang sekarang sudah bosan dengan
persoalan-persoalan ekonomi dan politik. "Puisi humor sebenarnya bukan
hal baru. Sejak lama sudah ada pantun jenaka. Puncak dari tragedi itu
komedi. Humor itu serius, bukan sekadar melucu-lucu. Tetapi ada
nilai-nilai moral dan nilai-nilai sosial di dalamnya," kata Jose
Rizal.
Begitulah, lewat kegiatan ini Jose Rizal ingin membuka sedikit
ruang terbuka, menguak kebuntuan-kebuntuan, sekaligus mengalirkan
atmosfer sejuk ke tengah kepengapan yang menyergap kita. Berangkat
dari kesadaran semacam ini, Jose Rizal yang mengaku mulai bosan dengan
pembicaraan soal politik-ekonomi di segenap penjuru kota sejak
Matahari terbit hingga larut malam, lalu menawarkan pembacaan
puisi-puisi humor untuk berbagai kalangan. Setelah di Pusat Kebudayaan
Jepang dan di Bengkel Teater, kegiatan serupa juga akan digelar di SMU
Negeri 1 Jakarta dan berakhir 9 September mendatang di pemukiman
pemulung Bantargebang, Bekasi, sekaligus menyerahkan sumbangan yang
terkumpul dari kegiatan ini.

Oleh : Elok Dyah Messwati

Dimuat di Kompas 4 September 1999

Tidak ada komentar: