Selasa, 11 November 2008

Pendidikan Etika

Anak-anak belajar etika melalui interaksinya dengan orang-orang terdekat, teman dan masyarakat sekelilingnya. Contoh pertama bagi anak untuk mengenal perilaku baik maupun buruk, betul maupun salah, adalah keluarganya yang terdekat.
(Betty Dwi Kurnianingsih dalam Kapita Selekta Psikologi Perkembangan)

Ulasan

Tidak mudah memang mengakui bahwa kesalahan ada pada kita sendiri, akan lebih mudah menunjuk pihak lain yang bersalah atas perilaku negatif anak kita.

Televisi adalah salah satu pihak yang paling mudah untuk dituding sebagai penyebab mumculnya perilaku negatif pada anak. Entah itu agresivitas dalam bentuk perilaku maupun dari perkataan. Tidak sedikit orang tua yang membatasi jadwal maupun jenis tontonan bagi anaknya. Apakah menyelesaikan masalah? Belum tentu, karena tidak ada satu pun tontonan yang benar-benar baik, selalu saja ada kekurangannya.

Teman sebaya, baik di lingkungan rumah maupun sekolah, juga merupakan pihak yang seringkali dikatakan memberikan pengaruh buruk pada perilaku anak. Membatasi pergaulan anak, memastikan dengan siapa dan kapan ia boleh berteman, menyediakan banyak permainan di rumah untuk meminimalisir keinginan anak bermain di luar rumah, adalah sebagian kecil upaya orang tua untuk menjaga anak dari pengaruh buruk lingkungan sebayanya. Apakah menyelesaikan masalah? Belum tentu juga, karena anak tetap memerlukan teman untuk melatih kemampuannya bersosialisasi dan kematangan emosinya.

Pengasuh, pembantu, babby sitter, sopir, satpam, atau pun orang-orang dewasa lain yang bukan keluarga asli juga seringkali menjadi pihak tertuduh. Kakek atau nenek lah yang biasanya dijadikan “penjaga” untuk memastikan bahwa orang-orang tersebut tetap berperilaku sebagaimana mestinya. Selain menggunakan “satpam”, berganti-ganti pengasuh untuk mencari yang ideal adalah salah satu cara yang digunakan oleh sebagian orang tua untuk memastikan anaknya memperoleh pendampingan yang tepat. Apakah menyelesaikan masalah? Belum tentu juga, karena anak tetap memerlukan sosialisasi yang seluas-luasnya, termasuk dari orang-orang dewasa yang bukan keluarganya, untuk menjadi lebih “kaya”.

Sekolah, adalah harapan dan juga ancaman. Harapan untuk membantu orang tua dalam melakukan pendidikan etika. Ancaman, karena di sekolah anak akan bertemu dengan banyak orang. Anak tidak hanya bertemu dengan teman-teman yang berperilaku “manis” tetapi juga teman yang “agresif”. Berkelana mencari sekolah yang “terbaik”, membela anak yang sedang berkonflik, menitipkan pada guru agar diperhatikan secara khusus, bahkan sampai memindahkan anak setiap kali sudah merasa tidak nyaman adalah cara orang tua untuk mengatasi masalah “sekolah” ini. Apakah menyelesaikan masalah? Sekali lagi, maaf, belum tentu juga. Di sekolah manapun, kesenangan anak dalam bermain dan belajar akan juga diwarnai dengan tangisan atau teriakan karena terlibat konflik.

Mungkin, tidak ada satupun cara yang paling ideal karena di dunia ini memang tidak ada kenyataan yang benar-benar sesuai dengan harapan.

Lantas, apa yang dapat dilakukan oleh orang tua? Hanya ada satu jawabannya. Apa yang Anda harapkan dari anak Anda? Lakukanlah dan sadarilah keterbatasan Anda! Jadikanlah Anda sebagai contoh nyata bagi anak Anda. Jadilah idola bagi anak Anda.

Jika Anda tidak ingin anak Anda meniru perilaku agresif yang dilakukan oleh siapa pun, janganlah lakukan perilaku agresif itu. Jangan pernah memukul, menendang, menampar, mencubit, menghardik, memaki, melotot, dan lain sebagainya. Tegakkan aturan main secara konsisten, yang harus dipatuhi oleh semua pihak. Tegas bukan keras. Meyakinkan bukan mengancam. Mudah bukan?

Jika Anda tidak ingin anak Anda menjadi dirundung kekhawatiran, janganlah seringkali menjadi sumber kekhawatiran dan jangan pula menunjukkan kekhawatiran yang berlebihan di depan anak Anda.

Anda hanya perlu sadar penuh bahwa anak Anda sangat mudah meniru, dan Andalah yang dia lihat, dengar, dan rasa setiap hari.

Ada kata pepatah, buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Demikian juga anak Anda.

Tidak ada komentar: